Jumat, 04 September 2009

Beberapa Tantangan Ekonomi Syariah di Indonesia

Seiring dengan makin dirasakannya dampak krisis global, pertanyaan dan gugatan terhadap sistem ekonomi kapitalis yang berlandaskan pasar mulai muncul di banyak negara, termasuk Indonesia. Pada tingkat global, gugatan dan wacana tentang perlunya revitalisasi atau penggantian sistem pasar dipelopori tidak kurang oleh Presiden Perancis Nicolas Sarkozy dan mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair.


Gaung gugatan ini juga dirasakan di Tanah Air. Banyak pihak berpendapat perlunya direvisi secara total sistem perekonomian Indonesia dengan mengarusutamakan prinsip dan praktek ekonomi syariah. Satu hal yang sangat dimengerti mengingat Indonesia memiliki populasi muslim terbesar di dunia dan bukti di banyak tempat akan kekebalan perbankan syariah dari gelombang krisis global.

Namun, keinginan ini juga tidak kurang ditentang dan dipandang secara skeptik oleh beberapa kalangan. Pada tataran filosofis, tentangan muncul oleh karena adanya kecenderungan dicampuradukkannya hal yang sesungguhnya merupakan bangun peradaban/kebudayaan, dalam arti praktek/kebiasaan dalam berekonomi di zaman Nabi Muhammad SAW, dengan sesuatu yang lebih bersifat normatif dalam arti cita-cita moral seperti kesejahteraan bersama, kemakmuran, dan keadilan sebagaimana yang dinisbahkan dalam Islam.

Pencampuradukan ini terlihat dari praktek pengatasnamaan syariah yang saat ini marak dilakukan oleh banyak pihak di Indonesia, termasuk pemerintah. Dengan pengatasnamaan ini, beberapa praktek yang dilabeli syariah tidak jarang justru bertentangan dengan hakikat normatif yang digariskan dalam norma-norma keagamaan itu sendiri.

Pada titik ini, praktek perbankan syariah yang mengutamakan bagi hasil dan risiko adalah satu contoh kasus. Dalam banyak praktek, bank-bank komersial berlabel syariah sekadar menerapkan bagi keuntungan dan tidak mengikutsertakan pembagian risiko. Bahkan, hampir semua bank syariah bisa dikatakan menerapkan proporsi bagi hasil yang identik dengan cost of fund atau rate of return perbankan konvensional. Dengan kata lain, esensi yang dilakukan adalah sama, berupa penggandaan uang dan hasil berlebih yang secara normatif sesungguhnya ditentang dalam ajaran agama Islam.

Untuk alasan yang sama, pengatasnamaan syariah juga dilakukan pemerintah dalam kasus obligasi syariah atau sukuk. Dalam teori, sukuk merupakan kesepakatan bagi nilai manfaat dari sebuah kepemilikan aset berwujud antara pemilik modal dan pemilik aset. Di sini, nilai manfaat harus dapat dikuantifikasikan agar nilai imbalan yang sesuai bisa dibagi antara pemilik aset dan pemilik modal. Akan tetapi, pada praktek penerbitan obligasi sukuk oleh pemerintah Indonesia, imbal bagi hasil yang ada ditawarkan tanpa perhitungan saksama. Pemerintah sekonyong-konyong menawarkan imbal bagi hasil sekitar 12 persen, yang kurang lebih identik dengan imbal bunga obligasi global dalam bentuk dolar Amerika. Sulit untuk tidak mengatakan adanya pragmatisme di sini.

Sayang, banyak pembela ekonomi syariah seakan menutup mata atau tidak mengetahui pelanggaran ini. Bagi mereka, segala sesuatu yang berlabelkan syariah adalah otomatis baik dan valid. Ini satu hal yang menurut saya pribadi tidak tepat karena sesungguhnya yang tetap hanyalah nilai, walau pengungkapan dan tekanan implikasinya bisa berbeda dari waktu ke waktu. Praktek dan kebiasaan bisa berubah, tetapi cita-cita untuk mencapai sesuatu hal seperti keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan bersama adalah sama.

Apalagi jika mengingat bahwa peradaban dan kebudayaan itu selalu bersifat eklektik. Alhasil, praktek pada zaman Nabi Muhammad SAW yang kemudian dilabeli syariah bisa jadi justru sudah tidak sesuai dengan tantangan dan kondisi zaman yang ada saat ini. Praktek bagi hasil, misalnya, belum tentu merupakan ketentuan yang tidak bisa diganggu gugat saat ini. Sebab, praktek ini sudah lama hidup dalam masyarakat tradisional jauh sebelum dinisbahkan sebagai hal yang baku dalam ekonomi syariah. Bahkan sampai saat ini, di banyak negara, termasuk Indonesia, praktek bagi hasil masih marak dilakukan oleh masyarakat tradisional yang hidup dari pertanian atau peternakan.

Praktek paron antara pemilik lahan/ternak dan petani penggarap atau pemelihara ternak yang membagi hasil menjadi sepertiga secara rata untuk pemilik, penggarap, dan biaya produksi sampai saat ini masih hidup dan dilakukan di banyak daerah. Akan tetapi, seiring dengan terjadinya transformasi ekonomi dan peningkatan taraf hidup serta meningkatnya kompleksitas transaksi dan jenis komoditas, praktek paron kemudian makin ditinggalkan dan diganti dengan sistem permodalan yang berbasiskan bunga.

Untuk mengatasi pencampuradukan ini, maka, tidak bisa tidak, perlu diciptakan keseimbangan antara inovasi kelembagaan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan filter nilai pada inovasi tersebut. Inovasi kelembagaan, termasuk peraturan implementasi, adalah penting untuk menyesuaikan praktek ekonomi syariah dengan kebutuhan masyarakat, sehingga tidak semata-mata berhenti pada labelisasi. Filter nilai yang lebih ketat juga adalah vital agar ekonomi syariah tidak terlampau meliberalkan inovasi lembaga keuangan, sehingga nantinya justru bisa terjebak pada kesalahan yang sama dengan sistem kapitalisme.

Sebagai contoh, bank bagi hasil merupakan inovasi kelembagaan yang bisa jadi merupakan terobosan dalam mengatasi maraknya spekulasi dan keserakahan. Sayang, prakteknya masih terlalu mengekor bank bunga, sehingga esensinya tidak tercapai, hanya sekadar akad. Praktek ini jika kemudian dipaksakan tanpa adanya penyesuaian atau konsep kelembagaan yang secara matang bisa malah kemudian menjadi bumerang, sebagaimana kegagalan Pakistan ketika secara paksa menghapus bank bunga dan menggantinya dengan bank bagi hasil.

Untuk itu, tantangan bagi akademisi dan praktisi ekonomi syariah adalah membuat satu teori, rekomendasi kebijakan, dan lembaga ekonomi Islam yang dapat diterapkan dalam perekonomian, terutama dalam situasi yang masih bercampur antara praktek syariah dan nonsyariah. Saat ini kebanyakan teori ekonomi syariah masih dibangun dalam settingekonomi yg sepenuhnya Islami, yakni tidak ada riba. Asumsi ini tidak realistis sehingga teori itu tidak bisa digunakan untuk menganalisis realitas.

Sebaliknya, praktek ekonomi konvensional juga harus mengantisipasi pengaruh pelaku atau lembaga ekonomi syariah, sehingga tidak kehilangan relevansi jika lembaga ekonomi syariah makin dominan. Pada titik ini, pemerintah dan DPR sebaiknya mendukung tumbuhnya inovasi kelembagaan ekonomi Islam dengan regulasi yang kondusif. Kegagalan Barat dalam mendesain sistem keuangan menyadarkan kita untuk berhenti mengadopsi secara mentah-mentah sistem yang mereka gunakan. (21 Mei 2009)

Sumber :

M Ikhsan Modjo, Dosen Departemen Ilmu Ekonomi Universitas Airlangga.

http://www.wartaekonomi.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1999:beberapa-tantangan-ekonomi-syariah-di-indonesia&catid=43:wuumum&Itemid=62&limitstart=1

5 September 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar