Jumat, 04 September 2009

Marissa Haque-Ekonomi Syariah Dukung Sektor Riil


Marissa Grace Haque (lahir di Balikpapan, 15 Oktober 1962; umur 46 tahun) adalah seorang aktris, sutradara, produser film dan politikus Indonesia. Menikah dengan Ahmad Zulfikar Fawzi (Ikang Fawzi) dan dianugerahi dua orang putri, yaitu Isabella Muliawati Fawzi (Bella) dan Marsha Chikita Fawzi (Kiki). Ia adalah kakak kandung dari Soraya Haque dan Shahnaz Haque.

Ia juga aktif menulis di media dan sebagai pengacara non-ligitasi, Direktur Utama PT SAI (Saya Anak Indonesia) Films, Direktur Eksekutif e-Gov Institute di Jakarta dan Surabaya, juru bicara dari Ristra Beauty Clinic and Cosmetics, Duta Lingkungan Hidup dari KLH, Duta WWF untuk Badak Cula Satu, dan Duta Masyarakat Ekonomi Syariah (MES).

Marissa telah menyelesaikan berbagai disiplin ilmu yaitu, Doktor S3 dari Institut Pertanian Bogor, jurusan Pengelolaan Sumberdaya Alam & Lingkungan Hidup dan kini ia akan menjalani studi S2 Hukum Pidana Universitas padjadjaran.

Motto hidup duta Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) ini yaitu menjalani hidup dengan mengalir seperti air (go with the flow) dan ikhlas menjalani ketentuan Allah Swt. Manusia berusia, namun tuhan yang menentukan hasilnya sesuai usaha tersebut.

Filosofi kehidupan bermasyarakat Marrissa yaitu jujurkan keadilan dan adilkan kejujuran. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, ia berharap pemerintah tidak hanya menjalankan trilogi pembangunan yang terdiri dari stabilitas nasional, pertumbuhan ekonomi dan pemerataan. Namun juga, ekonomi yang berpihak pada sektor Usaha Kecil dan Mikro (UKM).

Ekonomi syariah berpihak pada sektor riil yang mayoritas ada pada masyarakat Indonesia. UKM tersebut menjadi penolong di saat krisis global, yang muncul akibat runtuhnya pasar modal.

Ia berharap ekonomi syariah dapat maju menjawab tantangan jaman. Apalagi krisis global yang melanda beberapa negara saat ini dapat diatasi dengan sistem ekonomi yang berkeadilan seperti ekonomi syariah. Ekonomi syariah berada di pertengahan sistem ekonomi kapitalis dan ekonomi komunis. - 1 Januari 2009

Sumber :

Nola, www.pkesinteraktif.com, dalam :

http://marissahaque.kompasiana.com/2009/01/01/selamat-dengan-ekonomi-syariah-di-indonesia/#more-29

5 September 2009

Beberapa Tantangan Ekonomi Syariah di Indonesia

Seiring dengan makin dirasakannya dampak krisis global, pertanyaan dan gugatan terhadap sistem ekonomi kapitalis yang berlandaskan pasar mulai muncul di banyak negara, termasuk Indonesia. Pada tingkat global, gugatan dan wacana tentang perlunya revitalisasi atau penggantian sistem pasar dipelopori tidak kurang oleh Presiden Perancis Nicolas Sarkozy dan mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair.


Gaung gugatan ini juga dirasakan di Tanah Air. Banyak pihak berpendapat perlunya direvisi secara total sistem perekonomian Indonesia dengan mengarusutamakan prinsip dan praktek ekonomi syariah. Satu hal yang sangat dimengerti mengingat Indonesia memiliki populasi muslim terbesar di dunia dan bukti di banyak tempat akan kekebalan perbankan syariah dari gelombang krisis global.

Namun, keinginan ini juga tidak kurang ditentang dan dipandang secara skeptik oleh beberapa kalangan. Pada tataran filosofis, tentangan muncul oleh karena adanya kecenderungan dicampuradukkannya hal yang sesungguhnya merupakan bangun peradaban/kebudayaan, dalam arti praktek/kebiasaan dalam berekonomi di zaman Nabi Muhammad SAW, dengan sesuatu yang lebih bersifat normatif dalam arti cita-cita moral seperti kesejahteraan bersama, kemakmuran, dan keadilan sebagaimana yang dinisbahkan dalam Islam.

Pencampuradukan ini terlihat dari praktek pengatasnamaan syariah yang saat ini marak dilakukan oleh banyak pihak di Indonesia, termasuk pemerintah. Dengan pengatasnamaan ini, beberapa praktek yang dilabeli syariah tidak jarang justru bertentangan dengan hakikat normatif yang digariskan dalam norma-norma keagamaan itu sendiri.

Pada titik ini, praktek perbankan syariah yang mengutamakan bagi hasil dan risiko adalah satu contoh kasus. Dalam banyak praktek, bank-bank komersial berlabel syariah sekadar menerapkan bagi keuntungan dan tidak mengikutsertakan pembagian risiko. Bahkan, hampir semua bank syariah bisa dikatakan menerapkan proporsi bagi hasil yang identik dengan cost of fund atau rate of return perbankan konvensional. Dengan kata lain, esensi yang dilakukan adalah sama, berupa penggandaan uang dan hasil berlebih yang secara normatif sesungguhnya ditentang dalam ajaran agama Islam.

Untuk alasan yang sama, pengatasnamaan syariah juga dilakukan pemerintah dalam kasus obligasi syariah atau sukuk. Dalam teori, sukuk merupakan kesepakatan bagi nilai manfaat dari sebuah kepemilikan aset berwujud antara pemilik modal dan pemilik aset. Di sini, nilai manfaat harus dapat dikuantifikasikan agar nilai imbalan yang sesuai bisa dibagi antara pemilik aset dan pemilik modal. Akan tetapi, pada praktek penerbitan obligasi sukuk oleh pemerintah Indonesia, imbal bagi hasil yang ada ditawarkan tanpa perhitungan saksama. Pemerintah sekonyong-konyong menawarkan imbal bagi hasil sekitar 12 persen, yang kurang lebih identik dengan imbal bunga obligasi global dalam bentuk dolar Amerika. Sulit untuk tidak mengatakan adanya pragmatisme di sini.

Sayang, banyak pembela ekonomi syariah seakan menutup mata atau tidak mengetahui pelanggaran ini. Bagi mereka, segala sesuatu yang berlabelkan syariah adalah otomatis baik dan valid. Ini satu hal yang menurut saya pribadi tidak tepat karena sesungguhnya yang tetap hanyalah nilai, walau pengungkapan dan tekanan implikasinya bisa berbeda dari waktu ke waktu. Praktek dan kebiasaan bisa berubah, tetapi cita-cita untuk mencapai sesuatu hal seperti keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan bersama adalah sama.

Apalagi jika mengingat bahwa peradaban dan kebudayaan itu selalu bersifat eklektik. Alhasil, praktek pada zaman Nabi Muhammad SAW yang kemudian dilabeli syariah bisa jadi justru sudah tidak sesuai dengan tantangan dan kondisi zaman yang ada saat ini. Praktek bagi hasil, misalnya, belum tentu merupakan ketentuan yang tidak bisa diganggu gugat saat ini. Sebab, praktek ini sudah lama hidup dalam masyarakat tradisional jauh sebelum dinisbahkan sebagai hal yang baku dalam ekonomi syariah. Bahkan sampai saat ini, di banyak negara, termasuk Indonesia, praktek bagi hasil masih marak dilakukan oleh masyarakat tradisional yang hidup dari pertanian atau peternakan.

Praktek paron antara pemilik lahan/ternak dan petani penggarap atau pemelihara ternak yang membagi hasil menjadi sepertiga secara rata untuk pemilik, penggarap, dan biaya produksi sampai saat ini masih hidup dan dilakukan di banyak daerah. Akan tetapi, seiring dengan terjadinya transformasi ekonomi dan peningkatan taraf hidup serta meningkatnya kompleksitas transaksi dan jenis komoditas, praktek paron kemudian makin ditinggalkan dan diganti dengan sistem permodalan yang berbasiskan bunga.

Untuk mengatasi pencampuradukan ini, maka, tidak bisa tidak, perlu diciptakan keseimbangan antara inovasi kelembagaan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan filter nilai pada inovasi tersebut. Inovasi kelembagaan, termasuk peraturan implementasi, adalah penting untuk menyesuaikan praktek ekonomi syariah dengan kebutuhan masyarakat, sehingga tidak semata-mata berhenti pada labelisasi. Filter nilai yang lebih ketat juga adalah vital agar ekonomi syariah tidak terlampau meliberalkan inovasi lembaga keuangan, sehingga nantinya justru bisa terjebak pada kesalahan yang sama dengan sistem kapitalisme.

Sebagai contoh, bank bagi hasil merupakan inovasi kelembagaan yang bisa jadi merupakan terobosan dalam mengatasi maraknya spekulasi dan keserakahan. Sayang, prakteknya masih terlalu mengekor bank bunga, sehingga esensinya tidak tercapai, hanya sekadar akad. Praktek ini jika kemudian dipaksakan tanpa adanya penyesuaian atau konsep kelembagaan yang secara matang bisa malah kemudian menjadi bumerang, sebagaimana kegagalan Pakistan ketika secara paksa menghapus bank bunga dan menggantinya dengan bank bagi hasil.

Untuk itu, tantangan bagi akademisi dan praktisi ekonomi syariah adalah membuat satu teori, rekomendasi kebijakan, dan lembaga ekonomi Islam yang dapat diterapkan dalam perekonomian, terutama dalam situasi yang masih bercampur antara praktek syariah dan nonsyariah. Saat ini kebanyakan teori ekonomi syariah masih dibangun dalam settingekonomi yg sepenuhnya Islami, yakni tidak ada riba. Asumsi ini tidak realistis sehingga teori itu tidak bisa digunakan untuk menganalisis realitas.

Sebaliknya, praktek ekonomi konvensional juga harus mengantisipasi pengaruh pelaku atau lembaga ekonomi syariah, sehingga tidak kehilangan relevansi jika lembaga ekonomi syariah makin dominan. Pada titik ini, pemerintah dan DPR sebaiknya mendukung tumbuhnya inovasi kelembagaan ekonomi Islam dengan regulasi yang kondusif. Kegagalan Barat dalam mendesain sistem keuangan menyadarkan kita untuk berhenti mengadopsi secara mentah-mentah sistem yang mereka gunakan. (21 Mei 2009)

Sumber :

M Ikhsan Modjo, Dosen Departemen Ilmu Ekonomi Universitas Airlangga.

http://www.wartaekonomi.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1999:beberapa-tantangan-ekonomi-syariah-di-indonesia&catid=43:wuumum&Itemid=62&limitstart=1

5 September 2009

Dasar Ekonomi Islam dan Pelaksanaan Ekonomi Syariah

Dasar Perniagaan dalam Islam

Islam mengajarkan agar dalam berusaha hanya mengambil yang halal dan baik (thoyib), karena dalam Al-Quam, Allah SWT telah memerintahkan kepada seluruh manusia –bukan hanya untuk orang yang beriman dan muslim saja- untuk hanya mengambil segala sesuatu yang halal dan baik (thoyib). Tidak mengikuti langkah-langkah setan –dengan mengambil yang tidak halal dan tidak baik . Yang meliputi halal dari segi materi, halal dari cara perolehannya, serta juga harus halal dalam cara pemanfaatan atau penggunaannya. Banyak manusia yang memperdebatkan mengenai ketentuan halal ini. Padahal bagi umat Islam acuannya sudah jelas, yaitu sesuai dengan sabda Rasulullaah SAW dalam sebuah hadits . Jadi, yang halal dan yang haram itu jelas. Dan bila masih diragukan maka sebenarnya ukurannya berkaitan erat dengan hati manusia itu sendiri, bila hatinya jernih maka segala yang halal akan menjadi jelas. Sesuatu yang tidak halal –termasuk yang syubhat– tidak boleh menjadi obyek usaha dan karenanya tidak mungkin menjadi bagian dari hasil usaha.

Allah SWT telah memerintahkan kepada orang yang beriman agar hanya memperoleh keuntungan dari sesamanya hanya dengan jalan perniagaan, baik perniagaan barang atau jasa, yang berlaku secara ridho sama ridho . Salah seorang pemikir Islam, Imam Ghazali, menyatakan bahwa “Uang bagaikan cermin, ia tidak mempunyai warna namun dapat merefleksikan semua warna.” Maksudnya uang itu sendiri seharusnya tidak menjadi obyek (perniagaan) melainkan semata-mata untuk merefleksikan nilai dari obyek. Dan bagaikan cermin yang baik, uang harus dapat merefleksikan nilai dari obyek (perniagaan) secara jernih dan lengkap. Oleh karena itu pada zaman Rasulullah SAW uang dibuat dari logam mulia (emas atau perak) dan mempunyai spesifikasi (mutu dan berat) yang tertentu.

Pemerintahan Rasulullah SAW sendiri tidak (perlu) menerbitkan uang sendiri selama uang itu mempunyai nilai yang dapat diterima di semua pasar yang terkait. Dan sebagai alat tukar nilai, uang diperlukan untuk memperlancar perniagaan, artinya peran uang sejalan dengan pemakaian uang itu dalam perniagaan. Sehingga bila uang disimpan dan tidak dipakai dalam perniagaan maka masyarakat akan merugi karena perniagaan akan mengalami hambatan.
Kemudian dalam melakukan perniagaan, Islam mengharuskan untuk berbuat adil tanpa memandang bulu –termasuk kepada pihak yang tidak disukai. Karena orang yang adil akan lebih dekat dengan takwa . Sebagai abdi Allah SWT menjalankan tugas sebagai khalifah di muka bumi, atas nama Allah SWT, manusia diwajibkan untuk memanfaatkan sumber daya (alam, harta, dan sebagainya) yang telah dititipkan Allah kepadanya untuk sebesar-besar kemaslahatan manusia. Untuk itu manusia harus bekerjasama, saling tolong menolong karena manusia memang ditakdirkan untuk diciptakan dengan perbedaan.

Ekonomi Syariah

Ekonomi syariah merupakan ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang dilhami oleh nilai-nilai Islam. Ekonomi syariah berbeda dari kapitalisme, sosialisme, maupun negara kesejahteraan (welfare state). Berbeda dari kapitalisme karena Islam menentang eksploitasi oleh pemilik modal terhadap buruh yang miskin, dan melarang penumpukan kekayaan. Selain itu, ekonomi Islam merupakan tuntutan kehidupan sekaligus anjuran yang memiliki dimensi ibadah.

Sistem ekonomi syariah sangat berbeda dengan ekonomi kapitalis yang lebih bersifat individual, sosialis yang memberikan hampir semua tanggungjawab kepada warganya maupun komunis yang ekstrim. Ekonomi syariah bukan pula berada ditengah-tengah ketiga sistem ekonomi itu. Ekonomi Islam menetapkan bentuk perdagangan serta perniagaan yang boleh dan tidak boleh di transaksikan. Ekonomi dalam Islam harus mampu memberikan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat, memberikan rasa adil, kebersamaan dan kekeluargaan serta mampu memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada setiap pelaku usaha.

Seperti yang diungkapkan diatas, ciri khas ekonomi Islam hanya prinsip-prinsip yang mendasar saja. Karena alasan-alasan yang sangat tepat, Al Qur'an dan Sunnah banyak sekali membahas tentang bagaimana seharusnya kaum Muslim berprilaku sebagai produsen, konsumen dan pemilik modal. Sementara, sistem ekonomi, Islam tidak membahasnya seara terperinci dan jelas.

Namun, jika kini hadir Ekonomi Syariah sebagai salah satu bentuk atau metode ekonomi yang sesuai dengan dasar-dasar perniagaan yang ditetapkan oleh Islam (ajaran Quran dan hadits), maka metode tersebut harus mampu memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada setiap pelaku usaha. Ekonomi syariah menekankan empat sifat, antara lain, kesatuan (unity), keseimbangan (equilibrium), kebebasan (free will), tanggungjawab (responsibility).
Manusia sebagai wakil (khalifah) Allah di Bumi tidak mungkin bersifat individualistik, karena semua (kekayaan) yang ada di bumi adalah milik Allah semata, dan manusia adalah kepercayaannya di bumi. Didalam menjalankan kegiatan ekonominya, Islam sangat mengharamkan kegiatan riba, yang dari segi bahasa berarti "kelebihan". Dalam QS. Al Baqarah 275, disebutkan bahwa orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.

Praktek Ekonomi Syariah (di Indonesia)

Tahun 2006 diselengrakan Indonesia Syariah Expo 2006 sebagai bagian dari upaya pengembangan kegiatan ekonomi dan keuangan syariah yang telah menunjukkan adanya peningkatan yang berarti. Peningkatan ini ditandai dengan meningkatnya jumlah lembaga keuangan syariah yang beroperasi saat ini dari hanya satu bank umum syariah, yaitu Bank Muamalat Indonesia, menjadi 3 bank umum syariah, yaitu dengan tambahan Bank Syariah Mandiri dan Bank Syariah Mega Indonesia. Padahal, lima tahun sebelumnya belum ada bank konvensional yang membuka unit usaha syariah, tetapi saat ini sudah terdapat 20 bank konvensional yang membuka unit/divisi usaha syariah.

Begitu pula halnya dengan lembaga asuransi syariah yang jumlahnya meningkat dari hanya satu pemain yakni Asuransi Takaful kini menjadi 50 perusahaan bahkan lebih. Kini banyak pula perusahaan yang menerbitkan obligasi syariah untuk keperluan pendanaan jangka panjangnya. Pada Indonesia Syariah Expo yang disambut Wakil Presiden RI tersebut, menjelaskan prinsip-prinsip ekonomi syariah yang antara lain: kegiatan ekonomi syariah harus memberikan nilai tambah, berbasiskan tidak hanya dunia tetapi juga akhirat, pelaku ekonomi syariah harus memegang teguh kejujuran dan keadilan, serta menjalin semangat kebersamaan dan kerja keras. Artinya, Gerakan Ekonomi Syariah di dalam rangka menawarkan solusi terhadap berbagai permasalahan bangsa sebagai akibat dari krisis ekonomi, moneter dan sosial, mendapat sambutan luas bahkan dari pemerintah RI sendiri. Dukungan ini adalah upaya pengembangan ekonomi berbasiskan kejujuran, keadilan, keduniaan dan keakhiratan.

Ekonomi syariah yang berlandaskan etika moral diharapkan dapat mengatasi berbagai persoalan bangsa seperti pengangguran, kemiskinan, kebodohan, kesenjangan, kemunafikan, KKN, moral hazard dan sebagainya. Penerapan prinsip kejujuran akan menghilangkan praktek rekayasa keuangan yang dapat mengakibatkan penggelembungan aset/harta dan keuntungan perusahaan yang semu. Penerapan prinsip keadilan dapat menjaga keseimbangan dan keharmonisan hubungan serta menghilangkan kezaliman antara lembaga bisnis dengan mitra usahanya, antara kelompok masyarakat kaya dengan kelompok masyarakat miskin.

Bank Indonesia, selama ini pun telah secara aktif mengeluarkan berbagai kebijakan yang mendukung pengembangan perbankan syariah tanpa harus mengabaikan upaya pengembanganperbankan konvensional. Kita harapkan DPR RI dapat segera merampungkan pembahasan tentang RUU Perbankan Syariah yang sudah ditunggu cukup lama oleh pelaku perbankan syariah dan stakeholders-nya. Selain itu, pemerintah diharapkan segera merealisasikan penerbitan sukuk sebagai manisfestasi dukungan bagi ekonomi syariah serta mengeluarkan kebijakan-kebijakan dalam rangka pengembangan asuransi syariah dan pasar modal syariah. Wallahualam Bishawab.* (7 Februari 2008)

Sumber :

Masad Masrur

http://masadmasrur.blog.co.uk/2008/02/07/dasar_ekonomi_islam_dan_pelaksanaan_ekon~3691822/

5 September 2009


Dekonstruksi Kapitalisme dan Rekonstruksi Ekonomi Syariah

Bencana keuangan tengah melanda negara super power Amerika Serikat. Beberapa bank raksasa kelas dunia yang telah menggurita ke berbagai penjuru dunia rontok. Dimulai dari bangkrutnya bank raksasa Lehman Brothers dan perusahaan finansial raksasa Bear Stearns.
Beberapa saat sebelumnya, pemerintah Amerika terpaksa mengambil alih perusahaan mortgage terbesar di Amerika; Freddie Mac dan Fannie Mae Sementara Merrill Lynch mengalami kondisi tak jauh beda hingga harus diakuisisi oleh Bank of America. Terakhir perusahaan asuransi terbesar AIG (American International Group) menunjukkan gejala kritis yang sama.
Untuk mengatasi badai krisis yang hebat itu dan menyelamatkan bank-bank raksasa yang terpuruk, pemerintah Amerika Serikat terpaksa melakukan bailout sebesar 700 milyar dolar sampai 1 triliun US dolar. Walaupun nyatanya dana suntikan yang mirip dengan BLBI itu, toh tak signifikan membendung terpaan badai krisis yang demikian besar.
Beberapa saat setelah informasi kebangkrutan Lehman Brothers, pasar keuangan dunia mengalami terjun bebas di tingkat terendah. Beberapa bank besar yang collaps dan runtuhnya berbagai bank investasi lainnya di Amerika Serikat segera memicu gelombang kepanikan di berbagai pusat keuangan seluruh dunia.
Pasar modal di Amerika Serikat, Eropa dan Asia segera mengalami panic selling yang mengakibatkan jatuhnya indeks harga saham pada setiap pasar modal. Bursa saham di mana-mana terjun bebas ke jurang yang dalam. Pasar modal London mencatat rekor kejatuhan terburuk dalam sehari yang mencapai penurunan 8%. Sedangkan Jerman dan Prancis masing-masing ditampar dengan kejatuhan pasar modal sebesar 7% dan 9%. Pasar modal emerging market seperti Rusia, Argentina dan Brazil juga mengalami keterpurukan yang sangat buruk yaitu 15%, 11% dan 15%.
Sejak awal 2008, bursa saham China anjlok 57%, India 52%, Indonesia 41% (sebelum kegiatannya dihentikan untuk sementara), dan zona Eropa 37%. Sementara pasar surat utang terpuruk, mata uang negara berkembang melemah dan harga komoditas anjlok, apalagi setelah para spekulator komoditas minyak menilai bahwa resesi ekonomi akan mengurangi konsumsi energi dunia.
Di AS, bursa saham Wall Street terus melorot. Dow Jones sebagai episentrum pasar modal dunia jatuh. Angka indeks Dow Jones menunjukkan angka terburuknya dalam empat tahun terakhir yaitu berada di bawah angka 10.000.
Berdasarkan fakta dan reliata yang terjadi saat ini, jelas sekali bahwa drama krisis keuangan memasuki tingkat keterpurukan yang amat dalam,dank arena itu dapat dikatakan bahwa krisis financial Amerika saat ini, jauh lebih parah dari pada krisis Asia di tahun 1997-1998 yang lalu. Dampak krisis saat ini demikian terasa mengenaskan keuangan global. Lagi pula, sewaktu krismon Asia, setidaknya ada surga aman atau safe heaven bagi para investor global, yaitu di Amerika Serikat, Eropa dan Jepang, tetapi kini, semua pasar modal rontok. Semua investor panic.
Karena itu, seluruh pengamat ekonomi dunia sepakat bahwa Guncangan ekonomi akibat badai keuangan yang melanda Amerika merupakan guncangan yang terparah setelah Great Depresion pada tahun 1930. Bahkan IMF menilai guncangan sektor finansial kali ini merupakan yang terparah sejak era 1930-an. Hal itu diperkirakan akan menggerus pertumbuhan ekonomi dunia melambat menjadi 3% pada tahun 2009, atau 0,9% poin lebih rendah dari proyeksi World Economic Outlook pada Juli 2009.
Dari paparan di atas, terlihat dengan nyata, bahwa sistem ekonomi kapitalisme yang menganut laize faire dan berbasis riba kembali tergugat. Faham neoliberalisme tidak bisa dipertahankan. Pemikiran Ibnu Taymiyah dan Ibnu Khaldun adalah suatu ijtihad yang benar dan adil untuk mewujudkan kemaslahatan ekonomi masyarakat.
Dengan demikian sangat keliru apa yang dilakukan Fukuyama yang mendeklarasikan kemenangan kapitalisme liberal sebagai representasi akhir zaman The end of history (Magazine National Interest, 1989). Tesis Fukuyama sudah usang dan nasakh (tidak berlaku), karena sistem ekonomi kapitalisme telah gagal menciptakan tata ekonomi yang berkeadilan dan stabil.
Sebenarnya, sejak awal tahun 1940-an, para ahli ekonomi Barat, telah menyadari indikasi kegagalan tersebut. Adalah Joseph Schumpeter dengan bukunya Capitalism, Socialism and Democracy menyebutkan bahwa teori ekonomi modern telah memasuki masa-masa krisis. Pandangan yang sama dikemukakan juga oleh ekonom generasi 1950-an dan 60-an, seperti Daniel Bell dan Irving Kristol dalam buku The Crisis in Economic Theory. Demikian pula Gunnar Myrdal dalam buku Institusional Economics, Journal of Economic Issues, juga Hla Mynt, dalam buku Economic Theory and the Underdeveloped Countries serta Mahbubul Haq dalam buku The Poverty Curtain : Choices for the Third World.
Pandangan miring kepada kapitalisme tersebut semakin keras pada era 1990-an di mana berbagai ahli ekonomi Barat generasi dekade ini dan para ahli ekonomi Islam pada generasi yang sama menyatakan secara tegas bahwa teori ekonomi telah mati, di antaranya yang paling menonjol adalah Paul Ormerod. Dia menulis buku (1994) berjudul The Death of Economics (Matinya Ilmu Ekonomi). Dalam buku ini ia menyatakan bahwa dunia saat ini dilanda suatu kecemasan yang maha dahsyat dengan kurang dapat beroperasinya sistem ekonomi yang memiliki ketahanan untuk menghadapi setiap gejolak ekonomi maupun moneter. Indikasi yang dapat disebutkan di sini adalah pada akhir abad 19 dunia mengalami krisis dengan jumlah tingkat pengangguran yang tidak hanya terjadi di belahan dunia negara-negara berkembang, akan tetapi juga melanda negara-negara maju.
Karena itu, kini telah mencul gelombang kesadaran untuk menemukan dan menggunakan sistem ekonomi baru yang membawa implikasi keadilan, pemerataan, kemakmuran secara komprehensif serta pencapaian tujuan-tujuan efisiensi. Konsep ekonomi baru tersebut dipandang sangat mendesak diwujudkan. Konstruksi ekonomi tersebut dilakukan dengan analisis objektif terhadap keseluruhan format ekonomi kontemporer dengan pandangan yang jernih dan pendekatan yang segar dan komprehensif. Inilah yang ditawarkan oleh ekonomi syariah.
Di bawah dominasi kapitalisme, kerusakan ekonomi terjadi di mana-mana. Dalam beberapa tahun terakhir ini, perekonomian dunia tengah memasuki suatu fase yang sangat tidak stabil dan masa depan yang sama sekali tidak menentu. Setelah mengalami masa sulit karena tingginya tingkat inflasi, ekonomi dunia kembali mengalami resesi yang mendalam, tingkat pengangguran yang parah, ditambah fluktuasi nilai tukar yang tidak sehat.
Dampaknya tentu saja kehancuran sendi-sendi perekonomian negara-negara berkembang, proyek-proyek raksasa terpaksa mengalami penjadwalan ulang, ratusan pengusaha gulung tikar, harga-harga barang dan jasa termasuk barang-barang kebutuhan pokok mengalami kenaikan tak terkendali.
Krisis tersebut semakin memprihatinkan karena adanya kemiskinan ekstrim di banyak negara, berbagai bentuk ketidakadilan sosio-ekonomi, besarnya defisit neraca pembayaran, dan ketidakmampuan beberapa negara berkembang untuk membayar kembali hutang mereka. Henry Kissinger mengatakan, kebanyakan ekonom sepakat dengan pandangan yang mengatakan bahwa tidak satu pun di antara teori atau konsep ekonomi sebelum ini yang tampak mampu menjelaskan krisis ekonomi dunia tersebut (News Week, Saving the World Economy).
Melihat fenomena-fenomena yang tragis tersebut, maka tidak mengherankan apabila sejumlah pakar ekonomi terkemuka, mengkritik dan mencemaskan kemampuan ekonomi kapitalisme dalam mewujudkan kemakmuran ekonomi di muka bumi ini. Bahkan cukup banyak klaim yang menyebutkan bahwa kapitalisme telah gagal sebagai sistem dan model ekonomi.

Rekonstruksi Ekonomi Syariah
Oleh karena kapitalisme telah gagal mewujudkan kesejahteraan yang berkeadilan, maka menjadi keniscayaan bagi umat manusia zaman sekarang untuk mendekonstruksi ekonomi kapitalisme dan merekonstruksi ekonomi berkeadilan dan berketuhanan yang disebut dengan ekonomi syariah. Dekonstruksi artinya meruntuhkan paradigma, sistem dan konstruksi materialisme kapitalisme, lalu menggantinya dengan sistem dan paradigma syariah. Capaian-capaian positif di bidang sains dan teknologi tetap ada yang bisa kita manfaatkan, Artinya puing-puing keruntuhan tersebut ada yang bisa digunakan, seperti alat-alat analisis matematis dan ekonometrik, dsb. Sedangkan nilai-nilai negatif, paradigma konsep dan teori yang destrutktif, filosofi materalisme, pengabaian moral dan banyak lagi konsep kapitalisme di bidang moneter dan ekonomi pembangunan yang harus didekonstruksi. Karena tanpa upaya dekonstruksi, krisis demi krisis pasti terus terjadi, ketidakadilan ekonomi di dunia akan semakin merajalela, kesenjangan ekonomi makin menganga, kezaliman melalui sistem riba dan mata uang kertas semakin hegemonis.
Sekarang menjadi tanggung jawab para akademisi dan praktisi ekonomi syariah untuk menyuguhkan konstruksi ekonomi syariah. Karena ekonomi syariah memiliki keunggulan yang tak dimiliki sistem kapitalisme, ekonomi syariah mewujudkan pembangunan ekonomi yang adil, maslahah, dan dapat mewujudkan kesejahteraan umat manusia, tanpa krisis finansial, tanpa penindasan, kezaliman dan penghisapan, baik antar individu dan perusahaan, negara terhadap perusahaan, maupun negara kaya terhadap negara miskin.


Sumber :

Agustianto (Sekjen DPP Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia [IAEI])
Pelita, 16-10-08 (was), dalam :

http://www.mui.or.id/konten/artikel/dekonstruksi-kapitalisme-dan-rekonstruksi-ekonomi-syariah

5 September 2009

Sony Sugema tentang Ekonomi Syariah: “Kita Jangan Mau Dibohongi!”

Dalam konfrensi pers tentang akan dilaksanakannya Seminar Internasional Ekonomi Syariah di Jakarta Kamis pekan ini, Sony Sugema, seorang pemerhati ekonomi syariah mengatakan bahwa umat Islam di Indonesia harus melek dengan ekonomi syariah. Khususnya, soal manipulasi uang kertas yang terus membuat rakyat Indonesia menjadi miskin.

“Umat Islam harus kembali kepada ekonomi syariah dalam bermuamalah sehari-hari!” ujarnya. Menurut Sony, alat tukar uang kertas selalu memberikan nilai inflasi senilai 10 persen tiap tahun. Dan kalau pun seseorang mendepositokan uangnya dalam satu tahun, ia hanya dapat bunga sebesar 6 persen. Jadi, masih menurut Sony, ada tekor sebesar 4 persen. Belum lagi dosa riba yang tergolong dosa besar menurut ajaran Islam.

Uang kertas yang dimaksud Sony adalah tanpa kecuali. Bisa rupiah, dolar Amerika, dan lain-lain. Ia memberikan ilustrasi betapa umat Islam telah rugi besar dengan menyimpan uang kertas. “Jika dilihat tahun 97, ongkos naik haji sebesar 7 juta lima ratus ribu atau senilai 3.300 dolar Amerika, atau senilai 310 dinar. Tapi sekarang, ONH sama dengan 300 dolar dan hanya 100 dinar,” papar Sony.

Lebih lanjut ia mengilustrasikan, sejak di masa Rasulullah, harga kambing senilai satu dinar. Dan sekarang, setelah 14 abad lebih, harga kambing tetap senilai satu dinar.

“Karena itu, saatnya umat Islam kembali ke dinar seperti yang dicontohkan Rasulullah saw. dan para sahabat,” ajak Sony yang juga pengurus gerai dinar di Jakarta.

Selain Sony, ketua panitia pelaksana Seminar Internasional Ekonomi Syariah, Agus Priono menjelaskan soal latar belakang diadakannya seminar ini. Menurutnya, “Kita ingin mengajak umat Islam yang merupakan mayoritas di negeri ini untuk bisa mengantisipasi krisis keuangan global dengan kembali ke ekonomi syariah. Di antaranya dengan menyimpan uang dengan dinar atau dirham.”

Rencananya, seminar ini akan diadakan di Wisma Antara dengan salah seorang pembicaranya seorang pakar ekonomi syariah dari Yaman, Prof. Dr. Hasan Tsabit.

Sayangnya, dukungan pemerintah dalam penyadaran umat untuk kembali ke ekonomi syariah masih sangat lemah. Padahal, di situlah kunci solusi krisis ekonomi saat ini. Bahkan, menurut Sony Sugema, ada salah satu butir undang-undang IMF yang melarang semua negara anggotanya untuk menjadikan dinar dan dirham sebagai alat tukar. mnh/erm


Sumber :

http://www.islamic-center.or.id/berita-mainmenu-26/islamjakarta-mainmenu-34/17-islamjakarta/1050-sony-sugema-tentang-ekonomi-syariah-kita-jangan-mau-dibohongi

5 September 2009

Bisnis Syariah Ala Nabi

Muhammad Rasulullah, Nabi kita tercinta, adalah seorang saudagar ternama pada zamannya. Bahkan sejak usia muda, beliau dipandang sebagai sudagar sukses. Disadari atau tidak sukses tersebut tidak lepas dari aktivitas marketing yang diterapkannya --yang tak cuma ampuh tapi juga sesuai syariah dan, tentu saja, penuh ridlo dari Allah. Jika Anda tertarik menerapkannya, selain mendapat keuntungan, insyaallah bisnis Anda pun barokah. Inilah empat tips marketing a la Nabi:

1. Jujur adalah Brand
Saat berdagang Nabi Muhammad SAW muda dikenal dengan julukan Al Amin (yang terpercaya). Sikap ini tercermin saat dia berhubungan dengan customer maupun pemasoknya. Nabi Muhammad SAW mengambil stok barang dari Khadijah, konglomerat kaya yang akhirnya menjadi istrinya. Dia sangat jujur terhadap Khadijah. Dia pun jujur kepada pelanggan. Saat memasarkan barangnya dia menjelaskan semua keunggulan dan kelemahan barang yang dijualnya. Bagi Rasulullah kejujuran adalah brand-nya.

2. Mencintai Customer
Dalam berdagang Rasulullah sangat mencintai customer seperti dia mencintai dirinya sendiri. Itu sebabnya dia melayani pelanggan dengan sepenuh hati. Bahkan, dia tak rela pelanggan tertipu saat membeli. Sikap ini mengingatkan pada hadits yang beliau sampaikan, "Belum beriman seseorang sehingga dia mencintai saudaramu seperti mencintai dirimu sendiri."

3. Penuhi Janji
Nabi sejak dulu selalu berusaha memenuhi janji-janjinya. Firman Allah, "Wahai orang-orang yang beriman penuhi janjimu." (QS Al Maidah 3). Dalam dunia pemasaran, ini berarti Rasulullah selalu memberikan value produknya seperti yang diiklankan atau dijanjikan. Dan untuk itu butuh upaya yang tidak kecil. Pernah suatu ketika Rasulullah marah saat ada pedagang mengurangi timbangan. Inilah kiat Nabi menjamin customer satisfaction (kepuasan pelanggan). Di Indonesia mobil-mobil Toyota berjaya di pasar. Salah satu kiat pemasarannya adalah memberikan kepuasan pelanggan. Salah satu ukurannya adalah Call Centre Toyota dinobatkan sebagai call centre terbaik, mengalahkan Honda dan industri otomotif lainnya.

4. Segmentasi ala Nabi
Nabi pernah marah saat melihat pedagang menyembunyikan jagung basah di sela-sela jagung kering. Hal itu dengan Nabi, saat menjual barang dia selalu menunjukkan bahwa barang ini bagus karena ini, dan barang ini kurang bagus, tapi harganya murah. Pelajaran dari kisah itu adalah bahwa Nabi selalu mengajarkan agar kita memberikan good value untuk barang yang dijual. Sekaligus Rasulullah mengajarkan segmentasi: barang bagus dijual dengan harga bagus dan barang dengan kualitas lebih rendah dijual dengan harga yang lebih rendah.

Dalam soal segmentasi ini, Yamaha Motor adalah salah satu perusahaan yang bisa dijadikan teladan. Dia menciptakan motor Yamaha Mio, dengan mesin ber-cc kecil, tapi otomatis, dan mudah penggunaannya untuk segmen pasar perempuan. Dialah pelopor industri motor yang membidiki segmen ini, segmen yang sebelumnya selalu dilupakan pesaing lain. Hasilnya, dengan Mio Yamaha menyodok Honda dan menjadi penjual nomor satu di Indonesia 2007 ini.

Bisnis Mana yang Syariah? Seiring semaraknya penggunaan ekonomi syariah di Tanah Air, semakin banyak pebisnis yang meng-klaim bahwa bisnis atau usaha yang dijalankan merupakan bisnis syariah. Mulai dari bisnis penyewaan, toko, MLM, bisnis warnet, hingga bisnis hotel. Terlepas dari kebenaran bisnis tersebut dijalankan sesuai dengan prinsip syariah, hingga saat ini memang tidak ada peraturan secara umum dalam negara yang membatasi bidang apa saja yang bisa dijalankan sebagai bisnis syariah dan mana yang tidak. Kendati demikian menurut salah seorang konsultan dan pebisnis syariah Farid Ma’ruf, meski pada dasarnya semua bidang usaha bisa dijalankan sebagai bisnis syariah, namun tetap harus menjalankan beberapa prinsip sehingga benar-benar menjalankan bisnis secara syariah. “Melihat sebuah bisnis atau usaha benar secara syariah bisa dilihat dari sistemnya,” ujar Farid.

Sistem yang dimaksud salah satunya adalah masalah akad. Definisi akad menurut istilahnya adalah keterikatan keinginan diri seseorang dengan keinginan orang lain dengan cara memunculkan adanya komitmen tertentu yang disyariatkan. Farid mencoba memberi contoh cara yang ditempuh oleh sebuah usaha berprinsip syariah. Misalnya, jika seseorang berinvestasi menanam saham pada sebuah usaha, kemudian dijanjikan mendapatkan bagi hasil sesuai modal yang ditanamkan itu berarti tidak menjalankan bisnis syariah, karena telah termasuk riba. Semestinya bagi hasil didasarkan pada hasil usaha dan bukan modal.

Ada contoh lain kegiatan bisnis yang berhubungan dengan jual beli mata uang. Sesuai fatwa Dewan Syari'ah Nasional Majelis Ulama Indonesia no: 28/DSN-MUI/III/2002, tentang Jual Beli Mata Uang (Al-Sharf), transaksi jual beli syariah dilakukan dengan beberapa ketentuan. Pertama, jual beli dilakukan tidak untuk spekulasi. Kemudian ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan) Apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka nilainya harus sama dan secara tunai (at-taqabudh). Dan apabila berlainan jenis maka harus dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku pada saat transaksi dan secara tunai. Hal lain yang perlu diperhatikan lagi adalah komoditas yang dijadikan sebagai bisnis, berupa produk atau jasa. Jika produk/jasa yang dijadikan lahan bisnis sudah nyata tidak halal secara syariah, sudah tentu tidak dapat digolongkan dalam bisnis syariah. Setelah produk/jasa telah aman dalam hal kehalalan, selanjutnya pebisnis harus menjalankan akad dan ketentuan yang benar secara syariah. Semua dapat diketahui dengan jalan mempelajari dari ahlinya, dan saat ini tersedia banyak literatur yang bisa dijadikan rekomendasi bisnis. (SH)

Sumber:
BHS 04 Juli 2007 wirausaha.com, dalam :
5 September 2009

Ekonomi Syariah Butuh Politik Matang

Ekonomi syariah dapat menggantikan kapitalisme yang saat ini sedang goyah jika mendapat perlindungan dari negara. Namun untuk itu dibutuhkan kematangan sistem politik.

“Ekonomi syariah berpijak pada ketakwaan kepada Allah dan menghindari sikap monopoli dan eksploitasi sesama manusia. Juga menjauhkan diri dari upaya penghilangan kekayaan pihak lain sebagaimana biasa terjadi di pasal modal sistem kapitalis,” papar Hassan Tsabit Fahan, seorang pakar ekonomi syariah dari Timur Tengah, kemarin.

Sistem ekonomi syariah senantiasa menjunjung tinggi hak asasi manusia dan mengandung nilai-nilai kemanusiaan berdasarkan ibadah. Guru besar ekonomi Universitas Yaman itu mencontohkan pengharaman semua larangan mengenai ekonomi seperti riba, korupsi, penipuan dan monopoli.

“Tapi kuncinya, kekuatan ekonomi syariah harus didukung sistem politik yang matang. Sehingga bisa menjadi kekuatan baru menggantikan sistem ekonomi kapitalis yang sedang dalam proses kehancuran,” tandasnya.

Ia juga memaparkan, pemerintah juga harus memiliki pusat riset ilmiah dan diimplementasikan oleh lembaga-lembaga keuangan negara, perusahaan asuransi Islam, lembaga investasi Islam, dan pasar modal Islam.

Menurutnya, dalam sebuah negara terdiri atas tiga sistem, yaitu ekonomi, politik, dan sosial. Dari ketiga sistem tersebut, sistem ekonomi merupakan sektor pokok. Karena itu, ketidakmatangan sistem ekonomi bakal menimbulkan kegagalan pada kelangsungan hidup masyarakat yang lebih baik.

Di Indonesia, pasar syariah ini terus berkembang meskipun belum optimal. Salah satunya dengan terus mengalirnya sindikasi pembiayaan. Bank Syariah Mandiri (BSM) misalnya, akan menyalurkan pembiayaan sindikasi senilai Rp 700 miliar untuk tiga proyek yang akan diluncurkan bersama sejumlah bank syariah lain selama semester kedua tahun ini.

Direktur Korporasi BSM Amran Nasution mengatakan tiga proyek itu bergerak di sektor migas, kelistrikan dan perkapalan. Untuk proyek kelistrikan, BSM akan memberikan dana kepada salah satu perusahaan transmisi listrik di Batam dengan investasi senilai Rp 145 miliar. “BSM bertindak selaku lead arranger,” imbuhnya.

Sektor minyak dan gas (migas), lanjut dia, untuk membiayai modal kerja dan investasi, BSM telah menunjukkan salah satu perusahaan migas yang cukup besar di dalam negeri dengan nilai investasi Rp 350 miliar.

Sedangkan untuk pembiayaan perkapalan, perseroan telah menyetujui membiayai pembelian tiga unit kapal senilai Rp 275 miliar milik sebuah perusahaan publik nasional. "Total pembiayaan sindikasi yang disalurkan perusahaan sampai saat ini sudah mencapai Rp 1,2 triliun," ujarnya.

Dari sisi dana simpanan, bank syariah lainnya, PT Bank Syariah Bukopin (BSB) Riyanto mengatakan akan terus menggalang dana untuk mengejar LDR (loan deposit ratio) di bawah 100%.

Rata-rata LDR bank Syariah di Indonesia di atas 100%, dan BSN 120%. “Karena itu kita menggenjot penggalangan dana masyarakat untuk LDR di bawah 100 %," ucapnya. Salah satunya dengan menargetkan produk Tabungan iB Siaga Bisnis dapat mendongkrak penggalangan dana tabungan sebesar 30% dari tabungan saat ini yang mencapai Rp 124 miliar atau menambah sekitar Rp 40 miliar hingga akhir tahun ini.

Direktur Utama BSB Riyanto mengatakan, BSB menawarkan produk ini untuk menjawab kebutuhan pasar, di mana tabungan tidak hanya untuk menyimpan uang saja, tetapi juga mencatat secara detail bisnis yang dilakukan nasabahnya.

"Saat ini penggunaan tabungan dengan fasilitas ATM dianggap paling mudah untuk melakukan transaksi bisnis, dan Tabungan iB Siaga Bisnis ini memfasilitasi itu semua dengan menampilkan catatan secara detail bisnis nasabah," katanya. Saat ini aset BSB per Juli 2009 mencapai Rp 1,8 triliun dengan total pembiayaan Rp 1,2 triliun dan DPK Rp 1 triliun. [E1] - 14 Agustus 2009


Sumber :

Ahmad Munjin

http://www.inilah.com/berita/2009/08/14/142067/ekonomi-syariah-butuh-politik-matang/

5 September 2009

Adakah Ekonomi Syariah itu?

Umat Islam saat ini disodori konsep Ekonomi Islam atau Ekonomi Syariah. Produknya mulai dari bank syari'ah, pasar saham syariah, asuransi syariah, sampai kartu kredit syariah.

Islam sudah disempurnakan oleh Allah saat Rasulullah saw masih hidup (Al-Maidah:3). Dalam kitab-kitab hadis atau fikih sejak zaman dahulu tidak ada satu pun yang mencantumkan kata "iqtishadiyah" atau "ekonomi" untuk menyebut aktivitas jual beli. Aktivitas ini disebut al-bai', al-tijarah, dan sebagainya, yang dalam kitab fiqih dikemas dalam bab al-mu'amalah. Kata ekonomi merupakan bid'ah karena tidak ada perintah dan contohya sejak Rasulullah saw hingga para ulama sebelum abad ke-19.

Dari mana datangnya bid'ah ini?
Allah telah mengingatkan kaum Muslimin bahwa salah satu perilaku kaum Yahudi adalah menyimpangkan kata-kata dari makna yang sebenarnya. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Allah dalam Al-Quran: "Orang-orang Yahudi itu merubah perkataan dari tempat-tempatnya" (An-Nisa: 46), "Mereka (orang Yahudi) suka merubah perkataan dari tempat-tempatnya"(Al Maidah: 13), "Sebagian dari mereka (Yahudi) mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah memahaminya, sedang mereka mengetahui" (Al-Baqoroh: 75), dan "Mereka (orang-orang Yahudi) mengubah perkataan-perkataan dari tempat-tempatnya. Mereka mengatakan, 'Jika diberikan ini (yang sudah diubah oleh mereka) kepadamu, maka terimalah, dan jika kamu diberi yang bukan ini, maka hati-hatilah'" (Al-Maidah: 41).

Perubahan makna ini mereka lakukan terhadap istilah ekonomi, sehingga maknanya tidak sesuai dengan saat pertama kali kata ini muncul, pada masa keemasan bangsa Yunani. Ekonomi berasal dari dua kata oikos (rumah tangga) dan nomos (aturan), mereka ubah menjadi "hemat" bukan "aturan rumah tangga". Hal tersebut diambil dari prinsip ilmu ekonomi yang mereka buat, yaitu "dengan modal sekecil-kecilnya untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya".

Oleh karena itu, masyarakat Indonesia pun kini mengartikan ekonomi menjadi "hemat" seperti terdapat dalam transportasi yang mencantumkan kata "ekonomi". Dalam hal ini, bila menaiki angkutan tersebut akan menghemat biaya. Kata "ekonomi" juga terdapat dalam iklan yang berbunyi "praktis dan ekonomis" yang berarti produk yang diiklankan mudah digunakan dan menghemat biaya. Demikian juga di negara-negara yang berbahasa Arab. Ekonomi dalam bahasa Arabnya menjadi al-iqtishadiyyah yang berarti "penghematan".

Ekonomi yang sudah disalahartikan menjadi prinsip kaum Zionis Yahudi dalam mewujudkan ambisi mereka untuk menguasai dunia. Hal ini sebagaimana terdapat dalam hasil pertemuan 300 para pemuka Zionis Yahudi pada akhir abad ke-19. Pada protokol ke-8 dalam pertemuan tersebut dikatakan: "Kita harus melingkungi pemerintahan kita dengan para ekonom dari seluruh dunia. Itulah alasannya ilmu ekonomi menjadi prinsip ajaran yang diberikan kepada orang-orang Yahudi. Di sekeliling kita juga akan ada bankir-bankir, industrialis, kaum kapitalis dan yang paling penting para miliarder. Karena pada hakikatnya, semua hal diselesaikan oleh siapa figur-figur di belakangnya."

Untuk menjalankan prinsip "penghematan" didirikan bank-bank hingga berhasil menggantikan peredaran dirham dan dinar dengan uang kertas. Pada mulanya bank-bank ini berfungsi untuk memelihara uang milik orang lain dengan cara menyimpannya di tempat yang aman. Jika ada orang yang menitipkan uang emas atau uang peraknya di bank, sang bankir memberinya tanda terima berupa kertas kuitansi. Bankir pun berjanji akan mengembalikan uang emas atau uang perak tersebut secara tunai kepada pembawa pada saat kuitansi itu dipertunjukkan kembali kepada bank.

Tapi, kuitansi atau tanda terima itu kemudian dijadikan alat tukar meskipun belum ditebuskan dengan uang emas atau uang perak yang ada di bank. Pada perkembangan selanjutnya, para bankir mencetak kuitansi, yang sudah beralih fungsi sebagai uang kertas ini, sebanyak-banyaknya yang jumlahnya jauh lebih banyak dari pada jumlah uang emas dan uang perak yang ada di bank.

Sistem peredaran uang kertas kemudian dikendalikan Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) yang didirikan pada 1944 dan menjadikan dolar Amerika sebagai standar sistem peredaran uang kertas internasional. Dengan demikian, orang-orang Yahudi yang berada di belakang layar IMF, Bank Dunia, dan pemerintahan AS berhasil menjalankan prinsip "penghematan" yang membuat bangsa-bangsa lain melakukan "pemborosan". Penghematan ini dilakukan dengan hanya mencetak lembaran-lembaran kertas "dolar" dan sebagainya yang ditukar dengan berbagai kekayaan alam, seperti minyak, emas, kayu, dsb, di berbagai negara.

Pertukaran uang kertas dengan berbagai barang dan kekayaan alam di bumi ini merupakan "pertukaran sesuatu yang gaib dengan sesuatu yang nyata". Uang kertas disebut gaib karena pada hakikatnya kertas-kertas ini adalah kuitansi yang dijadikan alat tukar, yang seharusnya dapat ditebuskan menjadi emas atau perak sebagaimana sejarah asal-usul pemberlakuan uang kertas tersebut.

Apa yang menimpa seluruh manusia pada zaman ini sudah diketahui oleh Rasulullah saw. Dalam salah satu hadits yang dikutip Ibnu Qayim dalam kitab Ighatsah al-Lahfan yang berbunyi: "Ya tii 'ala an-nasi zamanun yastahilluna ar-riba bi al-ba'i" (Akan tiba suatu masa pada masa itu manusia menghalalkan riba dengan menyebutnya sebagai jual beli). Dalam hadits yang diriwayatkan Ibnu Bathah ini Rasulullah menyebutkan zaman dengan kata nakirah 'zamanun' bukan dengan kata ma'rifah "az-zamanu".

Kata tersebut belum terdefinisikan dengan jelas sehingga berlaku umum yang memungkinkan terjadi pada satu zaman, dua zaman, dan seterusnya. Dalam hadits-hadits lain, Rasulullah saw juga bersabda "Sungguh akan datang kepada manusia, pada masa itu tidak ada seorang pun dari mereka melainkan makan riba. Jika tidak memakan ribanya, ia akan terkena debunya" (HR Abu Dawud dan Ibnu Majah) - 3 Juni 2009

Sumber :

Nurman Kholis - Staf Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI

http://www.wakalanusantara.com/detilurl/Adakah.Ekonomi.Syariah.itu?/101

5 September 2009

Refleksi Tahun Baru : Saatnya Tahun Ekonomi Syariah

Menyimak perjalanan ekonomi setahun terakhir baik di tingkat internasional, regional, nasional maupun lokal yang penuh dengan ketidakgembiraan, banyak hikmah dan ibrah yang sepatutnya diambil menjadi peringatan. Walaupun tingkat tekanan yang berbeda-beda, hampir semua kawasan terkena imbas dari gelombang krisis ekonomi. Indonesia, kata Presiden SBY, terkena “tsunami”-nya.

Sebagaimana telah jamak diketahui, cerita itu berawal dari subprime mortgage yang mulai memacetkan sektor finansial di Negeri Paman Sam. Kredit perumahan yang seharusnya tidak layak, setelah didandani disana-sini supaya kelihatan cantik, diobral dengan sangat murahnya kepada orang yang sebenarnya tidak sanggup membayar. Perusahaan keuangan seperti bank, bank investasi, asuransi, pemeringkat, dan lembaga finansial lainnya yang beraset besar, banyak berperan dalam menciptakan krisis itu. Mereka dengan tidak mempertimbangkan moral, memperanakpinakan produk subprime mortgagetersebut. Sehingga wajar jika krisis menimpa sebagian besar lembaga-lembaga finansial secara berjamaah, sebagai konsekuensi logis efek domino. Tidak saja di Amerika, Eropapun terkena imbasnya, sehingga ditengarai ada konspirasi internasional untuk mengkrisiskan perekonomian dunia.

Babak selanjutnya dari cerita itu adalah akibat bangkrutnya perusahaan keuangan karena bubble economics, karyawan terpaksa dikurangi, pengangguran meningkat dan daya beli menurun. Produsen barang dan jasa menurunkan produksinya, kemudian mengurangi karyawannya, akibatnya penggangguran bertambah lagi, daya beli menurun lagi. Jika hal ini telah melanda semua pelaku ekonomi dalam jangka waktu yang berketerusan, maka cerita mulai masuk pada babak resesi.

Resesi disuatu negara, apalagi di Amerika Serikat yang dianggap sebagai kiblat sistem ekonomi kapitalisme, berakibat langsung atau tidak langsung pada negara lain. Indonesia misalnya, terjadi penurunan permintaan ekspor, sebagaimana diketahui bahwa Amerika Serikat adalah salah satu negara pengimpor terbesar produk-produk Indonesia. Negara dengan pertumbuhan ekonomi besar seperti China atau India pun tak lepas dari imbas resesi ini, apatah lagi negara lain yang pertumbuhan ekonominya masih relatif rendah. Kesudahannya adalah resesi dunia.

Cerita kelam kelesuan ekonomi dunia membawa dampak psikologis yang cukup serius. Orang menjadi apatis akan hari depannya. Mereka mempunyai alasan yang tepat untuk menyatakan gagal pada diri sendiri. Pesimis pun muncul dalam benak mereka. Ini sangat disayangkan.

Di tengah suasana gulita seperti itu, masih ada secerca cahaya yang masih terus menyala. Dia akan tetap menjadi penerang dalam berekonomi. Dia menjadi penuntun langkah berikutnya bagi manusia yang sadar bahwa sistem ekonomi kapitalisme telah berulang kali menenggelamkan kehidupan perekonomian mereka. Dia adalah sistem ekonomi syariah.

Sistem ekonomi syariah diperkenalkan kembali pada dunia sejak tahun 1975, sebagai sistem ekonomi alternatif dari sistem yang ada ketika itu. Pertumbuhan yang pesat dari tahun ke tahun membuat orang mulai melirik sistem ini. Bank Dunia dan IMF mulai mempelajari keuangan syariah untuk melihat bagaimana hal itu dapat membentuk kembali sistem keuangan barat (Republika, 26/12/08).

Dengan demikian sistem ekonomi syariah telah mendapat sorotan internasional untuk dijadikan solusi sistem ekonomi masa depan yang aman. Pemerintah China dan Perancis terus mendesak Bank Dunia dan IMF untuk memformulasikan sistem baru yang lebih aman, sebagai kritik atas lemahnya sistem finansial yang dibangun. Dana bail out yang dikucurkan oleh The Fed, Bank Sentral Amerika Serikat pun, dikelola secara syariah juga, walaupun tidak secara eksplisit dikemukakan. Hal ini adalah terobosan pertama yang dilakukan The Fed sejak berdirinya yang tidak memakai bunga sebagai basis geraknya. Nyatalah bahwa sistem bunga tidak lagi menggembirakan. Jepang sudah lama menentukan suku bunganya hanya “nol koma sekian persen” atau dibawah 1%, sedangkan The Fed sudah menurunkan bunganya ke tingkat 0.25%. Dengan demikian, apalagi yang diharapkan dengan sistem bunga ini?

Konsep ekonomi syariah di Indonesia mulai marak sejak hadirnya bank berbasis syariah pertama, disusul kemudian lembaga–lembaga keuangan syariah lainnya. Namun memang, disadari bahwa sosialisasi memperkenalkan sistem ekonomi syariah ini kepada khalayak ramai berjalan lambat. Disini peran anggota masyarakat seperti pakar ekonomi syariah, praktisi ekonomi syariah, ulama, akademisi, lembaga swadaya masyarakat dan pemerintah, sangat dibutuhkan dalam menumbuhkembangkan ekonomi syariah.

Di tengah pesimistis pelaku ekonomi lain, industri berbasis syariahlah yang yakin menempuh tahun 2009 dengan proyeksi pertumbuhan yang optimis. Untuk dunia perbankan misalnya, Bank Indonesia memproyeksikan pertumbuhan perbankan syariah dalam tiga skenario berdasarkan asumsi-asumsi yang telah diformulasikan dalam program grand strategy. Skenario pesimis sekalipun, memproyeksikan pertumbuhan sebesar 25% dengan total aset 57 trilyun rupiah, skenario proyeksi moderat dengan pertumbuhan 37% dan total aset 68 trilyun rupiah dan skenario proyeksi optimis dengan pertumbuhan 75% dan total aset 87 trilyun rupiah (Direktorat Perbankan Syariah-BI). Di tahun 2009 akan hadir lagi beberapa bank umum yang beroperasi dengan sistem syariah secara penuh, disamping bank umum yang akan membuka unit usaha syariahnya (UUS).

Dengan ikhtiar keras yang senantiasa dilumuri doa, Insya Allah target pertumbuhan yang moderat dapat dicapai bahkan dilampaui. Hal ini mengingat bahwa dari tahun 2001 – 2007, pertumbuhan perbankan syariah dapat mencapai angka 40% (sedangkan saudaranya yang konvensional hanya 10%), ditambah lagi dengan adanya Implikasi penyelesaian UU Perbankan Syariah, UU SBSN, dan ketentuan perpajakan diharapkan akan mendorong minat investor untuk mendirikan BUS/UUS/BPRS pada tahun mendatang, serta memanfaatkan inovasi produk perbankan syariah. Nada optimis juga bisa dilantunkan, mengingat pemerintah melalui Meneg BUMN mendorong para BUMN untuk melakukan diversifikasi portofolio dananya ke bank syariah untuk memperbesar lagi market share bank syariah. Di tingkat internasional keuangan syariah bertumbuh lebh dari 35% setiap tahunnya. Saat ini terdapat lebih dari 400 bank syariah yang beroprasi penuh dengan aset lebih dari 600 miliar dolar AS.

Walaupun demikian, dalam pengembangan ekonomi syariah ke depan, masih harus menghadapi sejumlah tantangan yaitu: membangun sumber daya manusia yang memadai, membangun perekonomian syariah dengan semangat keterbukaan agar manfaat menjadi bagian dari ekonomi global bisa diraih dan mengintensifkan edukasi dan sosialisasi mengenai ekonomi syariah kepada masyarakat luas. Demikian diungkapkan Muliaman D. Hadad, Deputi Gubernur Bank Indonesia saat terpilih sebagai Ketua Umum Masyarakat Ekonomi Syariah. Tantangan itu harus dapat diatasi untuk menjadikan ekonomi syariah bukan hanya sekedar sebuah landasan ekonomi yang bisa mencegah krisis ekonomi, tetapi lebih dari itu ia mampu menawarkan solusi. Disini bisa diperlihatkan kesyumulan ajaran Islam sebagai sistem yang universal, bahwa ekonomi syariah bukan sistem ekslusif yang diperuntukkan hanya kepada umat Islam, tetapi ia bisa digunakan oleh seluruh pelaku ekonomi.

Mengingat besarnya peluang pengembangan ekonomi syariah dan tantangan yang harus dihadapi di tahun mendatang, serta keinginan menjadikan ekonomi syariah sebagai sistem ekonomi masa depan yang aman agar terhindar dari krisis kembali, maka tak salah jika Tahun Masehi 2009 dan Tahun Hijriah 1430 – yang kebetulan beriringan datangnya – dicanangkan sebagai Tahun Ekonomi Syariah.

Sumber :

Willson Gustiawan

Staf Pengajar Politeknik Negeri Universitas Andalas Padang, Sekarang Mahasiswa Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung

http://blogs.unpad.ac.id/willson/?p=65

5 September 2009

Ekonomi Syariah Mengglobal

Beberapa waktu lalu, di Jakarta telah diadakan Festival Ekonomi Syariah (FES) 2008. Tema festival yang disemangi oleh Bank Indonesia ini adalah ”Menuju Indonesia Sejahtera Bersama Ekonomi Syariah.”

Ketika membuka acara tersebut, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan bahwa sistem ekonomi syariah terbukti ampuh mengurangi dampak krisis ekonomi 1998 di Indonesia. Ketika bank konvensional berguguran karena hiper-devaluasi rupiah, bank-bank syariah mampu bertahan dan menjadi penopang perekonomian Indonesia dengan sebagian besar pembiayaannya yang dialokasikan ke usaha mikro dan menengah.

Di Indonesia, dengan potensi pasar ekonomi syariah menyasar pada sekitar 200 juta muslim, bisnis ekonomi syariah sesungguhnya masih relatif kecil, hanya 1,7% dari total aset ekonomi nasional.

Tetapi melihat performa bank-bank syariah di Indonesia yang cukup bagus, pemerintah Indonesia mulai melirik ekonomi syariah sebagai alternatif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya yang babak belur dihantam krisis 1988. Bahkan penuh percaya diri Presiden Yudhoyono menyatakan Indonesia bisa menjadi pusat ekonomi Syariah di Asia dan dunia.

Bank Syariah berbeda dengan bank-bank lainnya Dalam perjanjian antara penyedia modal dengan pengusaha, setiap keuntungan yang diraih akan dibagi menurut rasio tertentu yang disepakati. Resiko kerugian ditanggung penuh oleh pihak Bank kecuali kerugian yang diakibatkan oleh kesalahan pengelolaan, kelalaian dan penyimpangan pihak nasabah seperti penyelewengan, kecurangan dan penyalahgunaan. Hal ini disebut mudhorobah.

Contoh lainnya adalah musyarokah (kemitraan), konsep ini diterapkan pada model kemitraan. Keuntungan yang diraih akan dibagi dalam rasio yang disepakati sementara kerugian akan dibagi berdasarkan rasio ekuitas yang dimiliki masing-masing pihak. Perbedaan mendasar dengan mudharabah, dalam konsep ini ada campur tangan pengelolaan manajemennya.

Dalam penyaluran dana untuk jual beli (murobahah). Bank akan membelikan barang yang dibutuhkan pengguna jasa, kemudian menjualnya kembali ke pengguna jasa dengan harga yang dinaikkan sesuai margin keuntungan yang ditetapkan bank, dan pengguna jasa dapat mengangsur barang tersebut. Besarnya angsuran flat sesuai akad diawal dan besarnya angsuran berdasarkan pada harga pokok ditambah margin yang disepakati.

Sesungguhnya bukan hanya Indonesia yang melihat ekonomi syariah sebagai peluang menjanjikan. Inggris juga berencana akan menerbitkan sukuk (obligasi tanpa bunga) mulai tahun ini, melengkapi kehadiran lembaga-lembaga ekonomi syariah di daratan Eropa seperti Islamic Bank of Britain dan European Islamic Invesment Bank. Negara lain yang punya rencana sama adalah Thailand dan Singapura. Bahkan Singapura saat ini merupakan pasar industri bisnis keuangan syariah yang paling atraktif di Asia, di samping Hongkong.

Korporasi bisnis global juga telah menawarkan berbagai produk syariah seperti HSBC Amanah, Citibank Syariah, atau Allianz Syariah di pasar asuransi.

Deputi Gubernur Bank Sentral Malaysia, Dato’ Mohd Razif Abdul Kadir, mengatakan bahwa kini ada 300 institusi keuangan berbasis syariah yang beroperasi di 76 negara di dunia. Kapitalisasi global aset bisnis syariah telah mencapai lebih dari 1 trilyun dolar Amerika per tahun dan Dow Jones Islamic Index telah mencapai 10 trilyun dolar Amerika. Porsinya memang masih kecil dibandingkan dengan aset total bisnis keuangan global, baru sekitar 40 persen dari aset total korporasi-korporasi keuangan global. Namun karena baru tumbuh selama 20 tahun terakhir ini dan dengan tingkat pertumbuhan bisnis 65% per tahun, kehadiran ekonomi syariah merupakan fenomena menggiurkan dalam dunia bisnis.

Godaan prospek bisnis syariah memang tak bisa dipungkiri, namun pokok paling berharga dari ekonomi syariah adalah ia menjadi raut sejuk Islam, yang selama ini telah terlumuri oleh citraan buruk terorisme.

Presiden Yudhoyono juga menyatakan bahwa ekonomi syariah tidak hanya ditujukan bagi masyarakat muslim. Ada nilai-nilai bersama dalam ekonomi syariah, yang membuatnya lebih mudah diterima oleh berbagai pihak. Penolakan terhadap bunga atau riba, yang dalam hukum Islam didasarkan pada Qur’an 2:275, 278-279, juga dapat ditemukan dalam kitab-kitab agama Ibrahim lain, seperti Perjanjian Baru (Lukas 6: 34-35) dan Taurat atau Perjanjian Lama (Keluaran 22:25).

Selain itu nilai-nilai ekonomi syariah, seperti yang pernah disebutkan pakar ekonomi kerakyatan, Prof. Mubyarto (almarhum): kesatuan, keseimbangan, kebebasan, dan tanggungjawab — yang dimanifestasikan dalam pengaliran kredit bagi rakyat, tanpa bergantung pada suku bunga deposito, keterbukaan pilihan investasi, loss sharing(penanggungan resiko oleh kreditor maupun debitor) dan bagi hasil sebagai konsekuensi mekanisme penawaran dan permintaan.

Operasi itu dapat diperbandingkan dengan gagasan ”paradigma baru ekonomi moneter” Joseph E.Stiglitz, pemenang Nobel Ekonomi 2001. Selain itu, dan mungkin yang paling penting, konsep-konsep ekonomi syariah sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi ekonomi—perekonomian dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, sehingga dapat menghapus alienasi ekonomi moneter kapitalis dan melangkaui kematian ekonomi. - 5 Februari 2008


Sumber :

Wahyuana, jurnalis yang tinggal di Jakarta dan pendiri Maluku Media Center (MMC), sebuah organisasi yang mempromosikan dan memfasilitasi resolusi konflik dan jurnalisme perdamaianan. Artikel ini ditulis untuk Kantor Berita Common Ground (CGNews) dan dapat dibaca di www.commongroundnews.org.

5 September 2009

Sejarah Ekonomi Syariah

Ekonomi syariah berkembang bersama Islam itu sendiri, meski demikian perkembangan keilmuannya mengalami proses yang berbeda. Secara umum kita bisa membaginya sebagai berikut.

Periode Pertama/Fondasi (Masa awal Islam – 450 H / 1058 M)

Pada periode ini banyak sarjana muslim yang pernah hidup bersama para sahabat Rosulullah dan para tabi’in sehingga dapat memperoleh referensi ajaran Islam yang akurat. Seperti Zayd bin Ali (120 H / 798 M), Abu Yusuf (182/798), Muhammad Bin Hasan al Shaybani (189/804), Abu Ubayd (224/838) Al Kindi (260/873), Junayd Baghdadi (297/910), Ibnu Miskwayh (421/1030), dll.

Periode Kedua (450 – 850 H / 1058 – 1446 M)

Pemikiran ekonomi pada masa ini banyak dilatarbelakangi oleh menjamurnya korupsi dan dekadensi moral, serta melebarnya kesenjangan antara golongan miskin dan kaya, meskipun secara umum kondisi perekonomian masyarakat Islam berada dalam taraf kemakmuran. Terdapat pemikir-pemikir besar yang karyanya banyak dijadikan rujukan hingga kini, misalnya Al Ghazali (451-505 H / 1055-1111 M), Nasiruddin Tutsi (485 H /1093 M), Ibnu Taimyah (661-728 H / 1263-1328 M), Ibnu Khaldun (732-808 H/ 1332-1404 M), Al Maghrizi (767-846 H / 1364-1442 M), Abu Ishaq Al Shatibi (1388 M), Abdul Qadir Jaelani (1169 M), Ibnul Qayyim (1350 M), dll.

Periode Ketiga (850 – 1350 H / 1446 – 1932 M)

Dalam periode ketiga ini kejayaan pemikiran, dan juga dalam bidang lainnya, dari umat Islam sebenarnya telah mengalami penurunan. Namun demikian, terdapat beberapa pemikiran ekonomi yang berbobot selama dua ratus tahun terakhir, Seperti Shah Waliullah (1114-1176 M / 1703-1762 M), Muhammad bin Abdul Wahab (1206 H / 1787 M), Jamaluddin al Afghani (1294 M / 1897 M), Muhammad Abduh (1320 H / 1905 M), Ibnu Nujaym (1562 M), dll

Periode Kontemporer (1930 –sekarang)

Era tahun 1930-an merupakan masa kebangkitan kembali intelektualitas di dunia Islam. Kemerdekaan negara-negara muslim dari kolonialisme Barat turut mendorong semangat para sarjana muslim dalam mengembangkan pemikirannya

Zarqa (1992) mengklasifikasikan kontributor pemikiran ekonomi berasal dari: (1) ahli syariah Islam, (2) ahli ekonomi konvensional, dan (3) ahli syariah Islam sekaligus ekonomi konvensional.

Ahmad, Khurshid (1985 h. 9-11) membagi perkembangan pemikiran ekonomi Islam kontemporer menjadi 4 fase sebagaimana berikut:

Fase Pertama

Pada pertengahan 1930-an banyak muncul analisis – analisis masalah ekonomi sosial dari sudut syariah Islam sebagai wujud kepedulian teradap dunia Islam yang secara umum dikuasai oleh negara-negara Barat. Meskipun kebanyakan analisis ini berasal dari para ulama yang tidak memiliki pendidikan formal bidang ekonomi, namun langkah mereka telah membuka kesadaran baru tentang perlunya perhatian yang serius terhadap masalah sosial ekonomi. Berbeda dengan para modernis dan apologist yang umum berupaya untuk menginterpretasikan ajaran Islam sedemikian rupa sehingga sesuai dengan praktek ekonomi modern, para ulama ini secara berani justru menegaskan kembali posisi Islam sebagai comperehensive way of life, dan mendorong untuk suatu perombakan tatanan ekonomi dunia yang ada menuju tatatan yang lebih Islami. Meskipun pemikiran-pemikiran ini masih banyak membahas hal-hal elementer dan dalam lingkup yang terbatas, namun telah menandai sebuah kebangkitan pemikiran Islam modern.

Fase Kedua

Pada sekitar tahun 1970-an banyak ekonom muslim yang berjuang keras mengembangkan aspek tertentu dari ilmu ekonomi Islam , terutama dari sisi moneter. Mereka banyak mengetengahkan pembahasan tentang bunga dan riba dan mulai menawarkan alternatif pengganti bunga. Kerangka kerja suatu perbankang yang bebas bunga mendapat bahasan yang komperehensif. Berbagai pertemuan internasional untuk pembahasan ekonomi Islam diselenggarakan untuk mempercepat akselerasi penmgembangan dan memperdalam cakupan bahasan ekonomi Islam. Konferensi internasional pertama diadakan di Mekkah, Saudi Arabia pada tahun 1976, disusul Konferensi Internasional tentang Islam dan Tata Ekonomi Internasional Baru di London, Inggris pada tahun 1977, dua seminar Ilmu Ekonomi Fiskal dan Moneter Islam di Mekkah (1978) dan di Islamabad, Pakistan (1981), Konferensi tentang Perbankan Islam dan Strategi Kerjasama Ekonomi di Baden-baden Jerman Barat (1982), serta Konferensi Internasional Kedua tentang Ekonomi Islam di Islamabad (1983). Pertemuan yang terakhir ini secara rutin tetap berlangsung (2001) dengan tuan rumah negara-negara Islam. Sejak itu banyak karya tulis yang dihasilkan dalam wujud makalah, jurnal ilmiah hingga buku, baik

Fase Ketiga

Perkembangan pemikiran ekonomi Islam selama satu setengah dekade terakhir menandai fase ketiga di mana banyak berisi upaya-upaya praktikal-operasional bagi realisasi perbankan tanpa bunga, baik di sektor publik maupun swasta. Bank-bank tanpa bunga banyak didirikan, baik di negara-negara muslim maupun di negara-negara non muslim, misalnya di Eropa dan Amerika. Dengan berbagai kelemahan dan kekurangan atas konsep bank tanpa bunga yang digagas oleh para ekonom muslim –dan karenannya terus disempurnakan- langkah ini menunjukkan kekuatan riil dan keniscayaan dari sebuah teori keuangan tanpa bunga.

Fase Keempat

Pada saat ini perkembangan ekonomi Islam sedang menuju kepada sebuah pembahasan yang lebih integral dan komperehensif terhadap teori dan praktek ekonomi Islam. Adanya berbagai keguncangan dalam sistem ekonomi konvensional, yaitu kapitalisme dan sosialisme, menjadi sebuah tantangan sekaligus peluang bagi implementasi ekonomi Islam. Dari sisi teori dan konsep yang terpenting adalah membangun sebuah kerangka ilmu ekonomi yang menyeluruh dan menyatu, baik dari aspek mikro maupun makro ekonomi. Berbagai metode ilmiah yang baku banyak diaplikasikan di sini. Dari sisi praktikal adalah bagaimana kinerja lembaga ekonomi yang telah ada (misalnya bank tanpa bunga) dapat berjalan baik dengan menunjukkan segala keunggulannya, serta perlunya upaya yang berkesinambungan untuk mengaplikasikan teori ekonomi Islam. Hal-hal inilah yang banyak menjadi perhatian dari para ekonom muslim saat ini. - 4 Oktober 2008

Sumber :

http://www.shariaheconomics.org/2008/sejarah-ekonomi-syariah/

5 September 2009